Esai Hari Guru Se-Dunia oleh Vivi Intan Pangestuti
GURU
INKLUSIF
Oleh
: Vivi Intan Pangestuti
Sejak
duduk di bangku sekolah dasar, kemungkinan besar kita sudah pernah menemukan
pelbagai macam karakter guru. Ada yang menyenangkan, membosankan, menyebalkan,
dan sebagainya. Tentu setiap guru memiliki karakter yang berbeda. Kita tidak
bisa meminta semua guru harus punya kepribadian yang sama. Namun, guru seperti
apa sebenarnya yang disukai oleh para siswa?
Saat
SMA, saya bersekolah di SMA inklusi. Walaupun inklusi, tetapi saya sudah
menduga kemungkinan ada guru yang tidak bisa melayani disabilitas secara
khusus. Misalnya, tidak bisa menjelaskan matematika secara perlahan, tidak bisa
mendeskripsikan gambar dalam materi pembelajaran, dan tidak ada yang paham
dengan huruf braille. Jadi, kalau saya mengumpulkan tugas, harus berupa tulisan
tangan di buku tulis. Kalaupun mengumpulkan dalam bentuk braille, saya
membacakannya untuk guru.
Ternyata
memang terbukti. Ketika sudah aktif belajar, saya mengalami hal itu. Kemudian,
saya makin pesimistis, ketika ada jadwal fisika sebagai mata pelajaran lintas
minat. Padahal saya memilih jurusan IPS karena ingin menghindari penderitaan
yang sudah diramalkan. Matematika saja belum tentu paham, apalagi fisika? Saya
punya asumsi seperti itu karena sering mendengar cerita teman-teman tunanetra
yang mengenyam bangku pendidikan di sekolah inklusi. Kata mereka, ketika
menjelaskan materi, guru matematika tersebut hanya menunjuk-nunjuk papan tulis.
Seharusnya, menjelaskan dengan detail juga kepada siswa tunanetra. Alhasil mereka
jadi benci matematika.
Namun,
dugaan saya meleset. Ternyata beliau orangnya humoris sekali. Beliau selalu
menyelipkan komedi di setiap penjelasannya. Akhirnya belajar fisika pun menjadi
menyenangkan. Hal yang tidak disangka juga, beliau bersedia menjelaskan ulang
materi fisika sedetail-detailnya kepada saya. Jadi, beliau menjelaskan terlebih
dahulu kepada teman-teman.
Selain
itu, beliau selalu mencari alat peraga supaya saya bisa mengetahui gambar yang
ada di papan tulis. Beliau pernah memotong-motong kardus untuk mendeskripsikan
arah mata angin dalam materi Vektor. Bahkan untuk menggambarkan bentuk Gerak
Melingkar, beliau sampai meminjam wadah bekal makanan salah satu teman dari
kelas IPA. Sebab, bentuknya sesuai dengan nama materinya.
Selanjutnya,
jika ada contoh soal, beliau tidak hanya menulis di papan tulis, tetapi
membacakannya juga. Begitu pun dengan latihan soal. Jadi, tidak hanya teman-teman
yang bisa menjawab, saya pun bisa ikut serta. Sebenarnya beliau sama sekali
belum pernah mengajar disabilitas jenis apa pun. Oleh sebab itu, awalnya beliau
stress sekali tiba-tiba mendapatkan siswa tunanetra. Akan tetapi, beliau tetap
bertanggung jawab mencari cara supaya saya paham dengan materi yang
disampaikan. Jadi, ternyata guru yang bukan lulusan PKh itu bisa punya sifat
sangat inklusif.
Selain
beliau, ada juga guru ekonomi yang sangat inklusif. Meskipun awalnya saya ingin
menghindari angka-angka, ternyata di pelajaran ekonomi pun ada hitung-hitungan,
malah angkanya lebih banyak dibanding matematika dan fisika. Saat kelas XI,
saya belajar tentang cara menghitung pajak, itu pun terbagi atas beberapa jenis
pajak. Ada penghasilan tidak kena pajak (PTKP), penghasilan kena pajak (PKP),
pajak penghasilan (PPH), tarif pajak, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan
sebagainya yang mungkin luput dari ingatan saya.
Pertama,
beliau memberi penjelasan kepada teman-teman terlebih dahulu. Setelah itu,
beliau baru membacakan rumus perhitungan pajak beserta contoh soalnya kepada
saya. Lalu, saya tulis menggunakan huruf braille. Selanjutnya, beliau
menjelaskan secara perlahan. Beliau juga tabah sekali menghadapi saya yang
tidak langsung paham. Berulang kali saya meminta latihan soal, berulang kali
pula jawaban tidak maksimal. Bahkan kalau jawaban masih belum tepat, saya meminta
soal lagi, tetapi dikerjakan di ponsel. Jadi, soal dan jawaban kami kirim
melalui WhatsApp, sebenarnya saya bukan anak yang rajin. Namun, saya tidak akan
mengerti, jika pasrah dengan keadaan. Lagi pula, beliau sendiri yang
menunjukkan empati itu. Akhirnya saya menjadi nyaman dan ingin mempelajari
materi tersebut.
Saya
rasa semua guru di Indonesia itu sudah bertugas dengan baik. Mereka dibuat
pusing untuk membuat RPP, silabus, bahan ajar, dan hal administrasi lainnya, belum
lagi harus mengajar di banyak kelas. Jika masih kekurangan biaya, mereka
mengajar lagi di sekolah lain, atau mempunyai pekerjaan sampingan. Namun,
apakah semua guru itu inklusif? Menurut saya saat ini belum. Walaupun sekolah
itu sudah menobatkan diri sebagai sekolah inklusi, tetapi masih banyak hal yang
belum ramah disabilitas, salah satunya adalah guru. Hal itu terbukti ketika
guru fisika saya tidak lagi mengajar di SMA saya. Saat kelas XI, kami
kedatangan guru fisika baru, ternyata modelnya sama seperti guru matematika
yang dibenci oleh teman-teman tunanetra.
Jadi,
pada dasarnya semua guru itu baik. Akan tetapi, tidak semua guru yang baik itu
bersedia mengajar siswa penyandang disabilitas. Menurut saya, hanya guru
inklusif itulah yang bisa menerima semua siswa, tanpa memandang apa pun. Bukan
sekadar mengajar, memberi soal, dan memberi nilai. Akan tetapi, memberi kesan
yang menyenangkan dan bisa mengerti juga kebutuhan para siswa dalam
pembelajaran.
Comments
Post a Comment